Novel ‘Ayat-ayat Cinta’ sedikit banyak mempengaruhi cara pandang kebanyakan orang terhadap lika-liku kehidupan mahasiswa Al-Azhar Kairo. Terlebih dengan sosok tokoh utamanya bernama Fahri yang disajikan oleh sang penulis seolah-olah tanpa cela dan tanpa dosa. Damhuri Muhammad menyitir ini dengan ungkapan yang menghadirkan diskursus: (Sosok Fahri. red) “Idealisme yang utopia dan sukar ditemukan dalam realitas yang sesungguhnya.”
Kiranya benar dan barangkali memang benar. Utopia
idealisme itu menyihir calon-calon mahasiswa untuk menimba ilmu di belantara
Negeri Musa ini. Mereka berduyun-duyun mendaftarkan diri agar masuk ke dalam
daftar list calon mahasiswa Al-Azhar Kairo Mesir. Membayangkan Kairo,
ruas-ruas tulang mereka seperti menggigil. Mereka datang membawa visi dan
rancangan misi yang matang. Dalam taraf ini, sosok Fahri masih menyihir sampai
pada akhirnya mereka menginjakkan kaki di tandusnya tanah Kinanah dan mulai
meragukan beberapa hal dan menyangsikannya.
Beberapa bulan kemudian, duduk perkara jadi lain.
Orientasi awal mereka terbentur kenyataan-kenyataan yang tak seindah bayangan semula.
Faktor ekonomis, sosial, dan lingkungan membentur-bentur ideologi mereka dan
menerobos masuk merobek-robek orientasi yang telah tertulis indah jauh di
sanubari. Negeri Musa mulai mengelupas menampakkan sosok aslinya yang beringas,
buas, dan tiri. Mereka dibuat tak berdaya dihadapkan dengan realitas yang tak
sesuai dengan keinginan mereka. Pada taraf ini, mereka mulai mengamini
ketidak-berdayaan dan mengabungkan beberapa visi.
Inilah Kairo. Kota yang menjadi jantung sejarah ini bisa
jadi mengatur siapa saja. Musim-musim bergerak dan mengatur jadwal makan,
tidur, kuliah, dan bahkan buang tinja. Mereka yang tak siap mengatur kairo,
harus rela diatur olehnya. Maka orientasi bergerak dari ranah statis dan ajeg,
ke pusaran puting-beliung yang memporak-porandakan. Bagaimana demikian?
Sebutlah Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir) yang masih
dalam bayang-bayang kebesaran Fahri pada akhirnya kecewa dan menyalahkan
keadaan. Kehidupan Masisir bukan hanya berkutat pada ‘Kampus’ dan ‘Rumah’.
Bukan hanya soal bagaimana meraih predikat terbaik di bangku kuliah lalu
merayakannya dengan sedikit rihlah. Bukan hanya soal menghambur dengan
masyarakat Mesir dan mengambil beberapa sikap kasar mereka untuk menghadapi
mereka sendiri. Masisir lebih dari itu semua, lebih dari sekedar catatan di
luar dugaaan; Mesir adalah ruang kejutan raksasa.
Bagi mereka yang ekonominya rendah, tak mendapat sokongan
uang saku dari rumah, terpaksa mengabdikan diri untuk bekerja mencukupi
kehidupan sehari-hari yang kian kesini, kian mencekik. Banyak dari mereka yang
terjebak dalam ‘kelainan’ bergaul. Dunia kerja yang keras mencetak jiwa yang
haus akan materi. Jika tak cukup dengan upah kerja dua atau tiga hari dalam
seminggu, mereka menjalin komunikasi dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk
memasukkan mereka ke dalam pekerjaan yang menyita waktu dan tenaga tapi dengan
bayaran yang menggiurkan: bekerja untuk orang mesir.
Bagi mereka yang disilaukan oleh bisnis, melihat setiap
sendi Masisir sebagai ruang bisnis yang menjanjikan. Mulai dari sektor math’am,
tempe, tahu, sablon, sewa mobil, travel, tiket, dll. Masing-masing sama-sama
memiliki potensi untuk berkembang pesat terlebih semakin banyaknya nominal
Masisir tiap tahunnya. Mesir menjadi semacam ladang bisnis ala
Indonesia. Bedanya, ia berasa dan berada di negeri orang. Dalam kemelut semacam
ini, geliat bangku kuliah jadi loyo; pilihan mengharuskan orang berlaku bijak.
Tapi adakah yang lebih bijak dari tak adanya pilihan?
Bagi mereka yang terjebak gemerlap Organisasi,
menghamburkan banyak waktunya untuk organisasi yang diembannya dengan
membabi-buta. Hampir-hampir mereka tak punya waktu untuk diri sendiri,
memikirkan kelangsungan kuliah. Meski dalih mereka masuk akal, tapi tak banyak
dari mereka yang sukses di bangku kuliah sekaligus sukses mengemban amanat di
organisasi. Akhirnya mereka terjebak pada persoalan yang dilematis; kuliah
akademis dan kuliah kehidupan sama tak terimanya jika diabaikan. Memeluk satu
tak bisa sambil merangkul yang lainnya. Mereka yang demikian, masih menemui
labirin tak berujung.
Bagi mereka yang ‘entah’, orientasi sama sekali tumbang
di meja-meja komputer; menempel di layar-layar laptop; dan bergerak di stick
game. Mereka yang entah ini alpa terhadap tujuan, dan terjebak di dunianya
sendiri yang pasif dan tanpa kejutan. Mereka lebih akrab dengan cursor
daripada alamat orang-orang munafik dalam muqorror. Mereka jarang
terlilit pilihan yang dilematis sebab setiap yang membuat mereka dilematis,
mereka lemparkan ke dalam jaringan internet yang menyediakan kemewahan yang
membius. Mereka lalai (atau barangkali sengaja lalai) akan besarnya
tanggung-jawab memikul predikat Mahasiswa Al-Azhar.
Dalam pada itu, Fahri bukan lagi jadi malaikat. Ia
menjadi kebenaran yang disingkirkan oleh kenyataan. Memang begitulah realitas
menjawab tiap-tiap yang idealis; tiap-tiap yang bergerak dalam galaksi
kesempurnaan. Kairo, seperti kota lain, pada akhirnya akan jadi kota scene
dan ob-scene, kata Goenawan Mohamad: ada yang dipertontonkan, ada yang
disingkirkan seperti najis. Kota ini pandai sekali menyingkirkan orang. Seperti
sebuah ungkapan yang lazim didengar tapi menyiksa kuping: Qahirah, jika
kau tak memaksanya, ia akan memaksamu. Akan ada yang kalah di kota ini, seperti
Fir’aun yang ditenggelamkan oleh takdir.
Apakah semua—pada akhirnya—mau mengakui penyakit yang menjangkit
Masisir itu?
Tak semuanya. Masisir memang tak dijangkit penyakit, atau
mungkin mereka lupa apa itu penyakit, sehingga mereka pun tak tahu apa yang
perlu diobati? Dilematis. Ketika kita hendak mengatakan bahwa kenyataan di muka
adalah sebuah penyakit (atau dalam kata yang lebih umum, dis-orientasi),
atau jangan-jangan itu bukanlah sebuah penyakit. Maka akan ada dua jawaban: Pertama,
bukan penyakit, bukan dis-orientasi. Bagaimana kau akan menyama-ratakan
orientasi tiap orang jika ternyata mereka berbeda satu sama lain dalam hal
orientasi? Bisnis, bisa jadi menjadi orientasi awal mereka. Organisasi,
barangkali jadi tombol utama dalam kehidupan kemahasiswaan mereka. Dalam hal
ini, kau tak bisa berlaku tak adil dengan meletakkan standar orientasimu di
atas standar orang lain. Dengan kata lain, kau tak ada bedanya dengan Fahri
yang idealis dan melupakan realitas.
Kedua, sebuah penyakit, sebuah dis-orientasi yang tak
disadari. Ini adalah jawaban segelintir orang yang mau mengembalikan tujuan
kepada khittah awal. Tidak hanya itu, mereka berkeyakinan bahwa tak
hanya tujuan yang harus di-rekonstruksi, tapi juga proses. Proses yang baik
menentukan sebuah hasil. Memang terkesan idealis, tapi idealis yang
dikembalikan kepada redamnya realitas akan menghasilkan kelindan orientasi yang
lebih tinggi tujuannya. Atau mereka ingin mewartakan bahwa: “Boleh lupa,
asalkan jangan alpa”.
Masisir dipertemukan dengan pilihan. Tak punya pilihan
bukanlah sebuah pilihan, atau mungkin juga sebuah pilihan tapi mandul. Hanya
yang berani memilih yang tahu rasanya menjadi terpilih. Dengan melihat dis-orientasi
dari kacamata yang lebih bening, kita jadi mempunyai dua pilihan (yang berlaku
berdasarkan baik-sangkanya kita): antara menjadi sosok Fahri yang hanya idealis
atau menjadi sosok Fahri yang idealis sekaligus realistis. []
M.S. Arifin, dimuat di Buletin Prestasi edisi Interaktif Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar