Pages

Surat Terbuka Buat Kekasih


-m.n. ulya

Tabik…

Secangkir kopiku ludas, tinggal ampas. Tapi tetanyaku tak kunjung mampus dikoyak-koyak jawab. Pertanyaan tentang betapa tak tahu dirinya aku yang tak tahu keadaanmu dan memahamimu seperti aku memahami udara yang aku hirup semenjak aku hidup. Aku luluh, lantak, pecah, berdenyar dan padam; ambyar seperti butiran tasbih yang putus dari tangan seoang alim. Atau ampyar seperti botol Wisky yang pecah di tangan seorang lalim.

**

Mencintaimu atas dasar takdir lebih tak membuatku tenang ketimbang mencintaimu atas dasar keyakinanku betapa tak tahunya manusia tentang takdirnya. Betapa tak menahunya manusia atas takdir jodohnya, maka ia hanya butuh melaksanakan tugasnya sebagai manusia: mencintai.

Mencintaimu mempertebal ketegangan antara dunia roh (yang entah) dengan dunia nyata (yang begitu). Dunia roh adalah aku yang pasti juga mencintaimu sebagai enstitas yang tak terindra namun ada. Begitulah cinta menelikung di setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Maka ketika aku ditanya kapan manusia mulai bisa mencintai? Maka aku jawab: Sejak Azali, sejak manusia ada di pikiran Tuhan. Dan jika aku ditanya sejak kapan cinta ada? Maka aku balik bertanya: “Sejak kapan pastinya kau ingat pertama kali memakai celana dalam?”.

Malam, katamu, memberi jalan lebih dekat dengan surga. Benar. Malam ini, aku serasa lebih dekat dengan surga, seperti hanya sejengkal di depan mata. Tapi barangkali, surga yang aku maksud bukanlah surga yang ada dalam kepalamu; yang dulu ayah kita Adam dan ibu kita Hawa dipertemukan oleh Tuhan. Surga yang aku maksud adalah engkau, kekasih. Surga yang paling nyata adalah cinta kita, selebihnya hanyalah persepsi manusia yang rindu akan air yang mengalir deras yang di atasnya kita bebas melakukan apapun semau kita. Cinta enggan merangkak di antara jalur persepsi sebab ia bukan sebuah karya seni rupa.

Malam yang tenggelam di legamnya secangkir kopi tak lebih tenggelam ketimbang aku yang bahkan larut dalam dirimu. Malam hari adalah waktu di mana seluruh ilham datang membeberkan rahasianya. Tapi malam bahkan tak lebih mengilhami daripada engkau, kekasih. Derit kasurmu adalah bait pertama puisiku. Lampu tidurmu adalah bait tengah puisiku. Tidur pulasmu adalah pamungkas puisiku. Bahkan dengkur lirihmu adalah judul puisiku. Saat kau mendengkur, suara seluruh jagad berkumpul dan berdebur. Dengan kata yang lebih ringkas, engkau adalah miniatur jagad raya. Engkau demikian luas dan cintamu terpenjara di kerdilnya aku.

**

Kekasih, melalui jalan puisi aku mencari sebuah definisi; tapi bukan definisi cinta. Sungguh cinta telah selesai tanpa definisi. Aku mencari definisi dari ego, yang kerapkali menunggangi hati kita. Egokah ia ketika beberapa kali kata-kata mampat di bibir dan membentur-bentur lidah? Seluruhku lindap menyusun jawaban atas pertanyaan itu. Hendak kau bawa kemana definisi ego, kekasih? Apa kita harus mengutip Sigmund Frued dengan ego dan superegonya yang (katanya) melandasi ilmu psikologi? Sungguh, kita tak perlu tokoh siapapun untuk memahami ego. Kau dan aku lebih arif daripada siapapun.

Maka ego adalah seperti genangan air yang menolak jadi suci. Kita telah menggenang sekian lama, kekasih. Segala yang tak beranjak akan kian membusuk. Jika kita tak semestinya diam menggenang, lantas kita harus mengalir kemana? Barangkali ini pertanyaanmu. Mari, kasi tangan. Kuajak kau mengalir ke derasnya arus cinta. Kau akan menemui beberapa air terjun, patahan-patahan dahan pohon, batu-batu besar, dan bahkan jamban bikinan orang tak bertoilet. Bersabarlah, kekasih ketika kau membentur batu, terseret arus, jatuh berderu di bawah air terjun dan terkena tinja buangan orang-orang tak bertoilet itu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah tanda-tanda orang yang bersabar dan beruntung.

Dan puisi mengajariku—untuk malam ini, mengerucutkan ego. Ego atas kemungkinan terburuk dari takut kehilanganmu. Barangkali takut kehilanganmu adalah juga ego, tapi ego hasanah. Begitukah, kekasih?

**

Malam semakin tenggelam ketika sayup-sayup kudengar derit kasurmu, menjerit minta aku. Aku masih di sini, berupaya mengusir kesepian dengan menulis puisi. Tapi bukankah kesepian tak bisa diusir sebab ia tak pernah datang atau pergi? Kesepian adalah aksiden, kekasih. Ia menempel. Bukan hakikat yang eksistensinya berdiri dengan sendirinya. Seperti puisi, kesepian butuh manusia untuk mengada.

Aku tak hendak melengkapi kesepian ini dengan membiarkannya berkembang biak dalam rahim waktu. Aku akan membunuhnya, dengan suara keyboard baruku yang lebih berisik dari dengkurmu. Karena malam adalah cerita, maka aku bahagia. Terimakasihku kepada Tuhan karena telah menciptakan malam dari mulut seorang perempuan. Dan terimakasihku kepadamu karena kau adalah perempuan dan aku bahagia karena telah mencintai perempuan.

Malam adalah potongan-potongan kisah yang mandek di mulut seorang ibu ketika anaknya sudah terlelap. Begitu juga denganku, malam adalah mozaik-mozaik yang pecah di dalam sebuah kisah ketika aku memilih tidur membaur dengan fana daripada menyelam ke dasar ampas kopi yang pahit. Kekasih, jika tidur dan terlelap adalah jalan lain untuk menujumu, aku tak hendak dan menolak bangun dan sadar. Tapi benarkah ada jalan lain untuk menujumu selain puisi?

**

Sudah sampai di pangkal subuh ketika kata-kataku perlahan rubuh. Tak ada yang berhasil dipertahankan oleh malam kecuali sisa-sisa harum embun yang kian menebal di kaca jendela kamar; juga sebuah puisi yang membentuk rumus dan teka-teki mengenai begitu arifnya malam membaca huruf-hurufku. Selesaikah puisiku di pangkal subuh, atau justeru baru saja hendak seluruh?

Kekasih, demi suara lirih dengkurmu, ijinkan aku mengabadikanmu dalam puisiku:

hayal lepas dari harapan
malam terembus
oleh sisa-sisa sia-sia
yang kita tanam di depan rumah kita

pagi menjulang di mercusuar
harap lepas dari hayalan
kita pun menunggang matari
dan membikin rumah lain
di cahaya lain;
cahaya petromaks misalnya
kerna nyatanya kita tak butuh cahaya
untuk membangun rumah kita

barangkali semua hanya hayal
dan hayalan, seringkali lepas
dari harapan
tapi bukankah kita pernah hidup
dalam hayal
dan justeru mati dalam harap?

2014

**

Kekasih, secangkir kopi memang telah ludas dan beralih menggenang di mataku. Dan kau berhasil mengasah penaku hingga landep. Tak perlu kau berburuk sangka kepada penaku. Ia akan tetap menjadi bagian dari caraku untuk menulismu, meski tak pernah sesempurna adamu. Hilangkan gelisahmu, kekasih. Kukirimkan sepucuk surat untukmu demi menuntaskan dahagamu akan kata-kataku. Tak muluk-muluk; semata agar aku masih kau akui sebagai ‘surya’ yang sebentar lagi akan terbangun dari lelapnya. Tapi tunggu dulu, kau masih harus tertidur di atas kasurmu yang berderit ditemani seberkas cahaya lampu tidurmu sambil tetap mendengkur lirih. (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram