“Bagaimana kau hendak menolak kenangan?”
Dulu, ibuku seorang pengrajin ‘tampar’; sejenis tali
tambang yang terbuat dari daun gebang. Setiap habis subuh, setelah mengaji
satu-dua lembar al-Qur’an, ia akan terpekur duduk. Kaki kanannya ia selonjorkan
sebagai bantalan, kemudian ia akan khusuk memelintir dua helai ijuk daun gebang
yang sudah diproses sedemikian rupa menyerupai sebuah lidi tapi lentur. Tangan
kanannya terampil memelintir, tangan kirinya merapikan pelintiran.
Meskipun aku sering bangun tidur setelah matahari, aku
sangat hapal kebiasaan ibuku itu. Dalam sehari, ia bisa membuat puluhan meter
tampar. Kadang, saking semangatnya, ia bisa membuat hingga ratusan meter.
Sampai-sampai tangannya ‘ngapal’ dan kaki kanannya kehilangan beberapa helai bulu.
Ia akan berhenti sejenak dari aktifitasnya untuk
membangunkanku dan menyuruhku mandi. Ia akan memasak sarapan dan mencuci
pakaianku yang kotor karena aku sangat bandel bermain ‘lemah lempung’ di sore
hari. Setelah itu, ia akan memakaikan seragam sekolahku dan menyisir rambutku
ke kiri, atau kadang ke kanan.
Aku masih kecil waktu itu, tapi aku sama sekali tak
menolak kenangan; dibelai tangan kasar ibuku bekas aktifitas ‘nampar’ setiap
hari. Meski tangannya sangat kasar dan penuh dengan daging yang tak diinginkan,
tapi kasih ibuku selembut uang seribu rupiah yang baru saja disebarkan oleh
Bank Indonesia untuk uang jajanku. Tapi kau tahu, anak kecil lebih memilih
lapar seharian daripada merelakan uang barunya berpindah ke tangan pedagang
cendol.
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar