Pages

Nostalgia#1


“Bagaimana kau hendak menolak kenangan?”

Dulu, ibuku seorang pengrajin ‘tampar’; sejenis tali tambang yang terbuat dari daun gebang. Setiap habis subuh, setelah mengaji satu-dua lembar al-Qur’an, ia akan terpekur duduk. Kaki kanannya ia selonjorkan sebagai bantalan, kemudian ia akan khusuk memelintir dua helai ijuk daun gebang yang sudah diproses sedemikian rupa menyerupai sebuah lidi tapi lentur. Tangan kanannya terampil memelintir, tangan kirinya merapikan pelintiran.

Meskipun aku sering bangun tidur setelah matahari, aku sangat hapal kebiasaan ibuku itu. Dalam sehari, ia bisa membuat puluhan meter tampar. Kadang, saking semangatnya, ia bisa membuat hingga ratusan meter. Sampai-sampai tangannya ‘ngapal’ dan kaki kanannya kehilangan beberapa helai bulu.

Ia akan berhenti sejenak dari aktifitasnya untuk membangunkanku dan menyuruhku mandi. Ia akan memasak sarapan dan mencuci pakaianku yang kotor karena aku sangat bandel bermain ‘lemah lempung’ di sore hari. Setelah itu, ia akan memakaikan seragam sekolahku dan menyisir rambutku ke kiri, atau kadang ke kanan.

Aku masih kecil waktu itu, tapi aku sama sekali tak menolak kenangan; dibelai tangan kasar ibuku bekas aktifitas ‘nampar’ setiap hari. Meski tangannya sangat kasar dan penuh dengan daging yang tak diinginkan, tapi kasih ibuku selembut uang seribu rupiah yang baru saja disebarkan oleh Bank Indonesia untuk uang jajanku. Tapi kau tahu, anak kecil lebih memilih lapar seharian daripada merelakan uang barunya berpindah ke tangan pedagang cendol.

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram