Pages

Penyair; Antara Berbeda dan Membeda



untuk Mochammad Mundir Ihsan

Sejak ia membaca puisiku dan mengeluarkan sintesis mengejutkan tentang gaya puisiku yang masih labil, aku tidak lagi menulis puisi, sampai detik ini. Entah kadang kelemahan datang dalam bentuk lain: menjelma menjadi sebuah ketakutan yang parodik. Aku masih ingat, meski dengan gaya kelakar, ia mengomentari gaya puisiku. “Temukanlah gaya puisimu dahulu sebelum kau bukukan.” Aku tak bisa membantah, dan kiranya atau, aku tak mau membantah kebenaran yang sakit itu.

Terhitung sudah beberapa minggu ini, aktivitas menulisku menjadi loyo. Ada yang diam-diam aku pikirkan dan barangkali jadi batu di pikiranku; yang mengganjal kretivitasku dan melemahkan kepekaanku terhadap alam sekitar. Menjadi diri sendiri. Itulah. Dalam permainan apapun yang aku geluti, kata-kata sama sekali kadang terasa tirani. Kata-kata bukanlah diriku, dan ia menolak menjadi siapapun. Aku bermain dengan kata-kata, tapi kata-kata tak mau menjadi milikku. Maka menjadi diri sendiri dengan bermain kata-kata adalah hal yang mustahil tapi direstui.

Puisi macam apa yang mampu menolak kata-kata sedang kata-kata adalah satu-satunya bangunan puisi?

Tentu ia akan menjawab: Gaya, Style, Uslub. Kata-kata boleh milik siapapun atau kata-kata sama sekali bukan milik siapa-siapa, tapi gaya adalah keniscayaan yang kontingen. Keniscayaan itu muncul ketika keterpautan antara kata dan penyair menjadi lebur dalam sebuah karya termasuk puisi. Siapapun tak menyangkal bahwa gaya puisi Sapardi, Sutardji, Chairil, adalah seperti itu adanya. Orang akan tahu siapa pembuat puisi itu tanpa melihat siapa penulisnya.

Tapi apa yang terjadi jika gaya ternyata adalah kemandulan kata-kata? Gaya adalah hasrat kasta dari keakuan yang menyemesta? Apakah gaya menunjukan segalanya tentang puisi? Apakah gaya mewakili sebuah tujuan dari kata-kata? Dan lebih kena: apakah gaya adalah nomor wahid dalam pergulatan emosi seorang penyair dalam mendedahkan tintanya?

Segala semesta mencirikan dirinya sendiri, yang berbeda dan membeda. Dalam ruang pembedaan antara puisi dan gaya, terjadi tubrukan aktif yang sepertinya berlangsung terus-menerus antara kata dan penyair. Gaya berkait-erat dengan tujuan penyair: Sapardi dengan “Kelembutan kata-kata”; Sutardji dengan jargonnya: “Mengembalikan kata pada asalnya, mantra”; Gus Tf Sakai dengan “Sastra yang melintas”; Afrizal Malna dengan “Kerespondensi objek-objek”. Semua berjalan dalam lintasan kreativitas yang istiqamah. Berbeda adalah tabiat, sedangkan membeda adalah hasrat.

Manusia tak bisa menolak tabiat berbeda. Jika segalanya dicirikan dengan berbeda, maka tidak dengan aktifitas koneksi antar kata dan penyair. Penyair mempunyai dua pilihan: berbeda, atau membeda. Berbeda versi penyair adalah ketika sebuah gaya merasuki relung dan kata-kata datang tanpa bisa dibendung. Ia berbeda, dalam bertutur, tapi sama dalam gaya. Dalam hal ini, kelabilanku terasa menyindir saat kubaca kembali beberapa puisi di dalam arsip. Barangkali, inilah Sapardi dalam bentuk yang lain, M.S. Arifin:

dua ikan mas dalam akuarium:
menyibak air dan berputar-putar
mereka mencoba mencari pintu keluar
tapi, bukankah air tidak berpintu?
mereka telah bosan dengan air
sekian waktu, mereka hanya menunggu
untuk diberi makan sang pemilik
dan jika sang pemiliknya sedang tak di rumah
untuk beberapa waktu, mereka terpaksa lapar
(bukankah mereka bisa minum? mungkin
mereka tak pernah merasa dahaga)
di luar akuarium, udara juga tak berpintu
di sana, manusia berenang seperti mereka
tapi manusia tak pernah ingin keluar dari
akuarium raksasa yang mengurungnya
sumur hidup
dua ikan mas dalam akuarium itu berpikir
sampai mati

Di sinilah penyair (penyair dalam makna yang sesungguhnya) merasa gentar. Ia bisa sangat tidak sadar ketika meminjam gaya orang lain. Akibat dari tak bisanya ia menjadi diri sendiri adalah kemandulan bahasa dan pencarian yang merasa sudah purna. Gaya adalah ketika penyair mencoba dan tak pernah merasa puas. Begitulah!

Membeda versi penyair adalah ketika kenyamanan dalam bertutur menjadi nilai abadi yang patut ia perjuangkan. Dalam karir kepenyairan, ada sederet kursi yang siap dihuni. Setiap kursi mencirikan dirinya masing-masing. Untuk menduduki salah satu dari kursi-kursi itu perlu kerja keras. Satu kursi ditempati satu penyair. Jika dipaksakan ditempati dua atau tiga penyair, maka yang didahulukan adalah penyair awal. Inilah hukum yang tak disepakati tapi berlaku. Peletak batu pertama adalah membeda, dan pengikutnya adalah berbeda. Dalam hal ini, aku menemukan gaya puisiku sendiri:

Langit retak, seorang malaikat jongkok
menyangga entah pelangi entah mega

Selandai langit aku membungkuk
dalam lengkung horizon; lelaki mati di pangkuan batu

Derita takhluk di lengan waktu
seorang lelaki terbelah di punggungmu

Mataku retak batu-batu/ hitam arang-arang kelabu
astaku halauan kapal layar/ tangkas jangkar-jangkar
kakiku debu-debu sahara/ pinus-pinus nestapa
hatiku kepak-kepak ‘ushfur/ angka-angka yang sungkur

Di antara mayat yang mengapung di dadamu
ada satu di antara mereka; kekasihmu
yang meminta maaf sebelum melakukan alpa

Penemuan gaya semacam ini disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, intensitas menulis. Kedua, referensi yang bervariatif. Ketiga, kejujuran di depan kata-kata.

Intensitas menulis bergerak dalam ranah pencarian. Mencari diri sendiri kadang lebih sulit ketimbang mencari orang lain. Pertanyaan yang terlontar dari sini adalah: “Who i’m I? Siapa diriku?” Menjadi diriku adalah ketika relaksasi dirasakan saat menulis, bukan—dalam pengantar Diwan Al-Mutanabbi, dibuat-buat atau dipaksakan. Keindahan hadir justeru ketika alami.

Referensi yang bervariatif bergerak dalam tataran bahwa tak ada yang baru di bawah langit. Semua sudah ada, semua hampir pernah ada. Meskipun semua sudah pernah ada, tapi kita tak pelu berkecil hati. Orisinalitas bukanlah soal kita menemukan yang paling baru dan tak ada salafnya, tapi orisinalitas adalah kumpulan dari beberapa yang lama dan salaf.

Kejujuran di depan kata-kata menjadi tongkat penegak. Biarpun kata bukan milik siapa-siapa, tapi kata tak pernah menolak digunakan oleh siapapun asalakan ia jujur. Jujur bermakna lebih dalam dari benar. Sebab tak semua yang kita katakan dalam puisi adalah kebenaran, tapi kita bisa memilih untuk mengatakannya dengan kejujuran.

Dan di awal Oktober, seorang yang belajar menjadi penyair menyadari behwa ia musti banyak belajar lagi. Kata-kata tak akan tuntas di lembar kertas, kata-kata tak akan habis di mulut penggumam. Maka tak ada pilihan lain selain bahwa ia harus belajar mengasuh kata-kata agar beranak-pinak dalam benaknya. Tapi sebenarnya ada pilihan lain baginya: menjadi orang lain yang dilupakan dan terlupakan. Barangkali ia tak mau menjadi semacam itu. **

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram