Pages

Melunasi Dendam dengan 'Nawaitu'



Dendamkah musti dilunasi, atau dibiarkan berkerut di dalam hati?

Bukan Eka Kurniawan. Bukan. Hanya seorang penulis catatan-catatan tak begitu penting yang kini menyuguhimu sebuah catatan yang sama sekali tak penting. Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai pendendam, yakni melunasi dendam itu. Tapi, jika kau tahu, aku bukanlah pendendam yang andal. Hanya pendendam yang sedikit pengecut karena tak begitu bernyali membalasnya dengan binal.

Dendam perihal apa? Dendam perihal tak punya ide apapun untuk menulis. Dendam menulis harus dibayar dengan menulis. Kau tahu, selain menulis, adakah kegiatan yang lebih bemutu? Aih! Tak perlu bersusah-payah mencari jawaban. Aku tahu, bahkan, kau tak mau menerima pertanyaan itu apalagi menjawabnya. Hidupku, setidaknya untuk beberapa hari terakhir ini, menjadi tak bemutu karena tidak menulis. Akhirnya hipotesaku terbukti: aku bermutu karena menulis. Begitukah dengan engkau?

Tak muluk-muluk, seporsi catatan ringan telah menuntaskan dan mengentaskanku dari dendam itu. Telah pula membebaskanku dari kutukan orang tak bermutu. Aih bahagianya! Menulis, ya, menulis, merontokkan sebagian (atau barangkali segala) yang tak kau kira sebagai dusta. Dusta? Benar! Mendustai bahwa kau bukan makhluk abadi. Adakah yang lebih dusta ketimbang abadi?

....
Sesaat adalah abadi
....

(Sapardi, Hatiku Selembar Daun)

Sesaat adalah abadi ketika kau beranjak dari toilet dudukmu sehabis membuang kenangan. Sesaat adalah abadi ketika kau melangkah menuju halte bus untuk buang air kecil. Sesaat adalah abadi ketika kau, entah, dan entah. Sesaat adalah abadi ketika aku menulis—apapun itu, demi menghindari alergi dari makanan kaleng kerna aku mengutuknya dalam tulisanku.

Sebegitu menipukah kita terhadap diri kita sendiri dengan tidak mau menulis?

Maka jadilah pendendam sepertiku. Dendam mengajarimu usaha melunasinya sampai tuntas. Dendam mengajarimu menjadi anak kecil yang melukis wajah ibu tirinya di atas genangan air. Dendam melaksanakan tugasmu sebagai manusia yang syahwat keabadian. Dendam itu kau, kau itu dendam. Dendamlah kau sebelum dendam mendendamimu.

Jangan kau sangkal bahwa kita tengah berjalan di antara konstalasi keabadian dan kehancuran. Sebermulanya adalah kita, atau kata? Ah, ya? Apalagi ini? Bukan Goenawan Mohamad. Bukan! Hanya seorang pendendam yang memiliki urusan dengan tulisan yang mandek di kata terakhir dari syair. Mari, kuajak kau melunasi dendamku dengan menulis. Kata, atau kita, sebermulanya tulisan; tak perlu kau pusingkan. Kita adalah kata, kata adalah kita. Begitu. Cukup begitu. Selebihnya, kau bisa belajar dari guru Bahasa Indonesiamu yang tak bisa membedakan mana puisi mana prosa.

Nawaitu: niatlah dirimu menjadi pendendam ketika kata-kata perlahan kau tuliskan. Sebutlah, atas nama diriku yang tak abadi, aku tuliskan dendam ini di atas catatan ringan. Sebutlah, demi dendam yang mampat di selokan belakang rumahmu, teruskanlah dendam itu agar yang sesaat menjadi abadi atau yang abadi menjadi sesaat.

Lantas, sebagai pamungkas, rapallah mantra gendam dalam genderang dendam (Usman Arrumy, Genderam Gendam). Supaya kau dapatkan hidayah dari kata-kata yang membentuk kita-kita. Sebab, kita senantiasa butuh banyak ‘karena’ untuk melunasi dendam menulis dengan menulis, atau dengan sama sekali tidak menulis. Bersiaplah menerima kemungkinan dari dendam: terlunasi atau berkerut di dalam hati. (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram