Pages

Surat Neptunus (6)



Tabik, Neptun.

Neptun, ada apa denganku? Ada apa dengan anak malang yang terombang-ambing di negeri orang ini? Kenapa ia selalu bertanya kepada dirinya dan luput mencari jawaban dari pertanyaan itu? Tersesatkah ia di jalan yang benar lantas menganggap pertanyaannya adalah sebuah enigma mandul: menjangkiti namun hanya pada dirinya?

Buram, masih buram dan abu-abu ketika kau membaca pertanyaanku di muka itu sebagai sebuah mukadimah yang teramat semu. Ya, aku masih suka semu dan masih menganggap kesemuan sebagai rangkaian kegiatan menafsir ketidak-mampuanku memperjelas diriku sendiri. Aku mengenal sebuah filsafat dari seorang filsuf kenamaan, Hegel: dengan dialektikanya yang menawarkan sebuah jawaban. Tapi aku muskil sendiri ketika harus meminta bantuannya untuk memanjat tingginya jawaban dari pertanyaanku itu.

Kemana arah tulisanku ini, Neptun? Adakah agenmu ini mulai tersesat di antara imajinasinya sendiri dengan tidak mengijinkan pembaca ikut serta? Ah, Neptun, itukah definisi dari egois bagi seorang penulis?

Begini, Neptun. Tanpa basa-basi lagi. Saksikanlah bahwa aku sedang dililit kegundahan tingkat akhirat. Sudah lebih dari tiga minggu aku berhenti menulis puisi. Entah kerna apa, entah dengan sebab yang bagaimana bentuknya, atau barangkali dengan sebab yang tak menerima bentuk. Aku kehilangan kepekaan membaca tiap inci dari realitas. Aku kehilangan kelembutan hati dan kejelian pikir. Puisi, kau tahu, Neptun, adalah sebuah kelangsungan hidupku. Aku mati tanpa puisi, aku mumi tanpa puisi.

Kenapa aku tak menulis puisi tentang kloset, kutu, debu, pagi, mimpi, rindu, gundah, peluh, keluh, sembilu, pilu, abadi, deru, semu, remuk, redam, dendam, cinta, ah, ih, uh, aihh? Neptun, berapa banyak sesuatu yang dapat ditulis di bumi ini? Atau jangan-jangan sudah tak ada yang perlu lagi ditulis di atas bumi ini? Lantas kita perlu menulis tentang yang bukan bumi (surga atau neraka misalnya). Atau kita justru harus meniru Gus Tf Sakai dengan jargonnya: “Puisi yang Melintas”: artinya, puisi yang entah sampai kemana dan entah di mana kakinya berpijak.

Semua sebenarnya tentang menemukan diriku sendiri yang selama ini tersesat di berbagai belantara puisi orang lain. Aku kadang benci membaca, Neptun. Kenapa? Membaca membuatku tahu seseorang dan paham akan seseorang dan akhirnya aku tidak bisa untuk tidak—sedikit-banyak—meniru orang itu. Aku membaca Chairil, Sapardi, Malna, Sutardji, Arrumy, Srengenge, Timur, Takdir, Nirwan, Tejo, Amir, Fansuri, Arabi, Darwish, Syawki, Adonis, Shakespeare, Almutanabbi dan seabrek penyair-penyair lainnya. Di manakah aku di antara mereka? Demi perjuanganku menemukan diriku sendiri, aku akui aku masih belum menemukan diriku, sampai saat ini, sampai detik ini.

Neptun, di sini, aku akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaanku di atas. Tentu, kali ini dengan meminjam Hegel. Baiklah! Pertama, jika tesis-nya adalah ‘menemukan puisiku’, maka antitesisnya adalah ‘puisiku bukanlah aku’. Kedua, jika tesis dan antitetis di atas dikawinkan maka harapannya adalah ‘menemukan bentuk puisiku’ yang orisinil dan otentik. Sintetis yang dihasilkan adalah bahwa menemukan puisi yang orisinil memang berangkat dari bukan yang orisinil. Kita pengguna bahasa, kita penggumam yang awam. Untuk menjadi pengguna bahasa yang fasih, setidaknya, kita harus bergelut dengan bahasa tanpa kenal jemu. Ini terkesan rumus, tapi kita patut patuh pada rumus kehidupan itu agar kita tahu kehidupan memang harus berputar dengan demikian adanya.

Di sini, lewat surat sederhana ini, Neptun, aku berjuang membunuh diriku sendiri jika aku masih sudi mengikuti orang lain. Saksikan ini, Neptun. Saksikan bahwa bunuhlah aku jika aku tetap bandel mengutil gaya atau uslub orang lain dalam berpuisi. Potonglah lidahku, potonglah jemariku. Biar. Biarkan aku menjadi antara: (i) penulis besar, atau (ii) sama sekali bukan penulis. []


Agenmu,
M.S. Arifin


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram