Tabik, Neptun.
Neptun, ada apa denganku? Ada apa dengan anak malang yang
terombang-ambing di negeri orang ini? Kenapa ia selalu bertanya kepada dirinya
dan luput mencari jawaban dari pertanyaan itu? Tersesatkah ia di jalan yang
benar lantas menganggap pertanyaannya adalah sebuah enigma mandul: menjangkiti
namun hanya pada dirinya?
Buram, masih buram dan abu-abu ketika kau membaca
pertanyaanku di muka itu sebagai sebuah mukadimah yang teramat semu. Ya, aku
masih suka semu dan masih menganggap kesemuan sebagai rangkaian kegiatan
menafsir ketidak-mampuanku memperjelas diriku sendiri. Aku mengenal sebuah
filsafat dari seorang filsuf kenamaan, Hegel: dengan dialektikanya yang
menawarkan sebuah jawaban. Tapi aku muskil sendiri ketika harus meminta
bantuannya untuk memanjat tingginya jawaban dari pertanyaanku itu.
Kemana arah tulisanku ini, Neptun? Adakah agenmu ini
mulai tersesat di antara imajinasinya sendiri dengan tidak mengijinkan pembaca
ikut serta? Ah, Neptun, itukah
definisi dari egois bagi seorang penulis?
Begini, Neptun. Tanpa basa-basi lagi. Saksikanlah bahwa
aku sedang dililit kegundahan tingkat akhirat. Sudah lebih dari tiga minggu aku
berhenti menulis puisi. Entah kerna apa, entah dengan sebab yang bagaimana
bentuknya, atau barangkali dengan sebab yang tak menerima bentuk. Aku
kehilangan kepekaan membaca tiap inci dari realitas. Aku kehilangan kelembutan
hati dan kejelian pikir. Puisi, kau tahu, Neptun, adalah sebuah kelangsungan
hidupku. Aku mati tanpa puisi, aku mumi tanpa puisi.
Kenapa aku tak menulis puisi tentang kloset, kutu, debu,
pagi, mimpi, rindu, gundah, peluh, keluh, sembilu, pilu, abadi, deru, semu,
remuk, redam, dendam, cinta, ah, ih, uh, aihh? Neptun, berapa banyak sesuatu
yang dapat ditulis di bumi ini? Atau jangan-jangan sudah tak ada yang perlu
lagi ditulis di atas bumi ini? Lantas kita perlu menulis tentang yang bukan
bumi (surga atau neraka misalnya). Atau kita justru harus meniru Gus Tf Sakai
dengan jargonnya: “Puisi yang Melintas”: artinya, puisi yang entah sampai
kemana dan entah di mana kakinya berpijak.
Semua sebenarnya tentang menemukan diriku sendiri yang
selama ini tersesat di berbagai belantara puisi orang lain. Aku kadang benci membaca,
Neptun. Kenapa? Membaca membuatku tahu seseorang dan paham akan seseorang dan
akhirnya aku tidak bisa untuk tidak—sedikit-banyak—meniru orang itu. Aku
membaca Chairil, Sapardi, Malna, Sutardji, Arrumy, Srengenge, Timur, Takdir,
Nirwan, Tejo, Amir, Fansuri, Arabi, Darwish, Syawki, Adonis, Shakespeare, Almutanabbi
dan seabrek penyair-penyair lainnya. Di manakah aku di antara mereka? Demi
perjuanganku menemukan diriku sendiri, aku akui aku masih belum menemukan
diriku, sampai saat ini, sampai detik ini.
Neptun, di sini, aku akan mencoba mencari jawaban dari
pertanyaanku di atas. Tentu, kali ini dengan meminjam Hegel. Baiklah! Pertama,
jika tesis-nya adalah ‘menemukan puisiku’, maka antitesisnya adalah ‘puisiku
bukanlah aku’. Kedua, jika tesis dan antitetis di atas dikawinkan maka
harapannya adalah ‘menemukan bentuk puisiku’ yang orisinil dan otentik.
Sintetis yang dihasilkan adalah bahwa menemukan puisi yang orisinil memang
berangkat dari bukan yang orisinil. Kita pengguna bahasa, kita penggumam yang awam.
Untuk menjadi pengguna bahasa yang fasih, setidaknya, kita harus bergelut
dengan bahasa tanpa kenal jemu. Ini terkesan rumus, tapi kita patut patuh pada
rumus kehidupan itu agar kita tahu kehidupan memang harus berputar dengan
demikian adanya.
Di sini, lewat surat sederhana ini, Neptun, aku berjuang
membunuh diriku sendiri jika aku masih sudi mengikuti orang lain. Saksikan ini,
Neptun. Saksikan bahwa bunuhlah aku jika aku tetap bandel mengutil gaya atau
uslub orang lain dalam berpuisi. Potonglah lidahku, potonglah jemariku. Biar.
Biarkan aku menjadi antara: (i) penulis besar, atau (ii) sama sekali bukan
penulis. []
Agenmu,
M.S. Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar