Pages

Tentang Penyair dan Beberapa Kecacatannya; Menggagas Idea Penyair yang Melampaui, Penyair Übermensch


“[...] Membuat orang gelisah, itulah tugasku. . .” — F. Nietzche

Kita bicara mental. Tak mudah memang untuk mengungkapnya secara banal, kadang kita perlu amsal-amsal tabu, atau permisalan yang ambigu. Ini sedikit (atau banyak?) menyinggung psikologi. Psikologi penyair yang cacat. Aku membacanya lewat ‘Nabi’ Kaum Atheis; Nietzche. Kita dihadapkan dengan kesakitan yang menyiksa ‘Nabi’ itu. Di sini, psikologi menohok kita yang tak sependapat dengannya.

Sudahkah kita tak mencari ‘kambing hitam’ dari setiap kesakitan kita?

Belum mungkin, atau jangan-jangan kita selalu demikian. Begitu sakitnya ketika ternyata dalam seminggu, sebulan, atau bahkan lebih dari kurun masa itu, kita tak menghasilkan suatu tulisan apa pun, termasuk tulisan ‘9 cara memasak dengan benar’. Lantas, dengan begitu, kita mencoba menghibur diri dengan mengatakan bahwa: “Seminggu ini aku sibuk bekerja”. Atau paling santer dan mengada-ada: “Sebulan ini aku sibuk memikirkan kenapa aku tidak juga menulis”.

Memang kita selalu mencari ‘kambing hitam’ dari ketidak-mampuan kita yang sakit. Inilah cacat mental, cacat psikologi, cacat Roh, setidaknya menurut ‘Nabi’ di muka. Ini memang tentang penyair yang menghibur diri dengan tidak menulis puisi mengenai apapun meski pada jangka waktu yang tidak mudah dalam realiatas yang melingkupinya, begitu banyak yang perlu ditulis dan dijadikan bahan. Penyair sibuk menjadi Roh Onta. Roh Onta sebab ia terlalu naif mengakui kesalahannya. Ini cacat, sekali lagi, dan untuk kesekian kali, cacat mental.

Roh Onta dalam ontologi Nietzche adalah ia yang selalu iya-naif. Iya-naif selalu menempatkan penyair di dalam sumbu ia yang selalu mencari sebab, mencari akibat, mencari sebuah hukum, kausalitas yang tak bertepi, tasalsul, daur, dan rantai-berantai kesakitannya sendiri. Iya-naif adalah sikap tidak gentle di depan dirinya sendiri—minimal dan di depan realitas—maksimal. Roh Onta mengandaikan sebuah situasi di mana penyair berkutat pada sebuah dimensi lenjeh (dalam bahasa A. Setyo Wibowo), yakni ia yang selalu menerima (artinya iya) secara brutal dan srempangan (artinya naif). Ia begitu lemah dan putus asa dengan beban yang ia bina. Dan akhirnya, ia selalu mencurigai dirinya sendiri dan kehilangan semua keyakinan.

Sama tidak baiknya dengan Roh Onta adalah Roh Singa. Nietzche rupanya membaca tiap detail situasi kejiwaan seseorang sampai yang tidak dinyana sekalipun. Bahkan, dalam hal ini, ketika aku manautkan psikologi itu dengan penyair, maka akan sangat cocok dan relevan. Roh Singa adalah ia yang selalu menidak naif. Ia selalu mengatakan ‘tidak’ pada yang selain dirinya tapi tidak dibarengi dengan intensitas permenungan diri yang purna. Justeru dengan berlaku demikian, penyair itu akan tampak seperti purba dan primitif dan barbaris; ia tak menerima realita di sekitarnya. Tak menerima (artinya menidak) tapi tanpa penjelasan yang logis (artinya naif).

Roh Singa membaca tiap yang di luarnya sebagai ancaman. Penyair, dengan segenap ego-abadi-nya, melihat yang bukan dirinya sebagai ancaman akan eksistensi dirinya. Manusia, termasuk penyair, selalu haus akan identitas yang mengukuhkan dirinya. Dengan demikian, ia masih membutuhkan suatu pegangan untuk menguatkan dirinya sendiri. Menurut Nietzche, ini adalah ciri dari jiwa yang lemah, atau psikologi kaum lemah, atau yang lebih jelas, kehendak yang cacat.

Lantas Roh yang bagaimana yang diimpikan oleh Nietzche?

Roh impian Nietzche adalah Roh Bayi, yang polos dan menerima realiatas secara apa adanya tanpa mencari ‘kambing hitam’ atas segala kejadian. Roh semacam ini, dalam bahasa A. Setyo Wibowo adalah Roh yang dengan kemurniannya memberikan afirmasi kudus pada apa yang datang. Afirmasi ini merangkak bukan di jalan Roh Onta maupun Roh Singa secara terpisah, tetapi secara bersamaan, artinya ia meng-iya dan menidak secara bersamaan terhadap realitas. Ia tidak memuja realitas dan tidak pula menghinanya.

Dari sini kita bisa mengandaikan adanya sosok Penyair yang MelampauiPenyair Übermensch. Inilah idea seorang manusia Nietzche. Dengan mengarahkan idea umum atau universal ini ke idea khusus atau parsial, kita berharap tidak ada lagi jiwa penyair yang cacat. Penyair adalah ia yang memebela kepentingan realitas secara netral dan tidak memihak, apalagi menghina atau memujanya. Meskpiun pada akhirnya idea ini menemui sublimitas yang tidak mudah, kita selalu berharap akan ada Penyair yang Melampaui itu; entah di masa kita atau di masa yang akan datang.

Tapi dengan satu khittah yang jelas, bahwa kita tak ikut mengkambing-hitamkan idea Penyair yang Melampaui itu ke dalam dekadensi realitas sebagai aktualisasi dari kegelisahan kita. (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram