Definisi tulisan menarik sampai saat aku terakhir buang air kecil lima menit yang lalu masih diperdebatkan dan belum (setidaknya) menemui sebuah kesepakatan di antara para pembaca yang andal. Semua atas dasar objektivisme. Semua atas dasar perasaan dan intelektual yang menjadi horison pembaca. Membaca adalah alternatif lain dari petualangan. Memberi penilaian terhadap bacaan merupakan jalan lain dari sekian jalan petualangan tersebut.
Tulisan menarik tak berangkat dari langkah yang
tergesa-gesa saat menuliskannya. Mungkin karena demikian aku tak hendak seperti
orang yang ejakulasi dalam menilai tulisan. Menilai tulisan, seperti halnya
menulis, juga butuh permenungan yang panjang. Sudah barang tentu tak bisa
dikesampingkan adanya faktor emosi dalam setiap menulis, juga membaca. Beberapa
bulan belakangan, aku jadi sering sependapat dengan gaya penulisan Goenawan
Mohamad (GM) dalam Capingnya. Ingat, ‘gaya’ penulisan bukan muatan tulisan.
Gaya yang khas GM itu seolah menyihirku, menusuk hebat ke jantung
intelektualku.
Caping GM tak menawarkan sebuah kepastian. Ya, barangkali
ia tak hendak memberi pengertian yang pungkas dan final, tapi memberi daya
kejut buat pembaca; yang akhirnya menuntut pembaca untuk turut berpikir. Di
sana, di antara daya kejut yang kadang menghentak lalu kemudian redam itu,
terdapat sebuah maha seni luar biasa. Seni mengutip. Tak dipungkiri, tulisan
yang bahkan murni opini sepertinya tak lepas dari kutipan. Tapi bedanya, dalam
setiap kutipan, ada yang secara sembrono dan ugal-ugalan, ada
yang dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Kebanyakan Caping GM berangkat dari sebuah hipotesa,
perkataan, kitab suci, memo, iklan, prasasti, atau bahkan ujaran murahan dari
orang tak penting. Tapi kecerdasannya bukan terletak pada titik tolak itu,
kecerdasannya terdapat pada seni mengolah ide dan seni menautkan bentuk
keserasian ide dengan kutipan. Ide pasif bisa ia sulap menjadi ide yang tak
dinyana; yang senantiasa bisa membaca realitas sekitar.
Bisa dibilang Caping GM adalah umpama esai, tapi mini.
Esai yang dipadukan dengan sastra. Sekilas, pada sebagian Capingnya, aku banyak
menemukan gaya dari puisi-puisi Sapardi, tapi ini hanya sejauh intensitasku atas
pembacaan kedua tokoh itu. Selebihnya, kau bisa mencerna kira-kira perpaduan
dari menu apa Caping GM itu.
**
Caping GM adalah sebuah usaha untuk memoderasi keadaan.
Ia dimaksudkan sebagai bacaan yang bukan condong ke berita sekali baca, juga
tidak menafikan berita aktuil yang tengah melanda suatu lokal. Caping GM bisa
dibaca setiap generasi, bisa dilahap semua usia. Tapi usaha seperti itu juga
tak lepas dari konsistensi GM dalam menggeluti gaya penulisannya yang khasnya.
Barangkali tak banyak penulis yang bisa konsisten mempertahankan gaya
penulisan. Dari sinilah penulis, sebagai jembatan antara pembaca dan bacaan,
menjadi semacam power-ranger-nya monster ketidak-tahuan yang
disepelekan.
Tentu tak disangkal adanya ego keabadian dari GM. Ia tak
semena mengambil dari gaya orang lain. Ia mencoba menemukan gayanya sendiri
yang menjadi ciri. Di sinilah, ia memilih ‘membeda’. Kau tahu, seperti kataku
beberapa waktu lalu, bahwa ‘membeda’ adalah pilihan sementara ‘berbeda’ adalah
fitrah. Memang terkesan menempatkan ‘berbeda’ dalam palung aksidental. Tapi
percayalah, GM dengan Capingnya bagai bapak dan anak. Ciri anak tak bisa lepas
dari ciri bapak. GM telah melahirkan generasi tulisan yang segar.
Sebetulnya usaha GM tak lepas dari pernyataannya: “Saya
sulit sekali untuk menulis buku yang fokus membahas suatu permasalahan”. Entah ini
sebagai kelakar atau tidak, jelas bahwa Caping GM mencirikan tulisan yang
meloncat dari satu hal ke hal yang lain; dengan tidak mengabaikan adanya
koneksi antar-hal. GM memang tak suka dengan satu tanda, ia lebih gemar
multi-tanda. Multi-tanda menandai adanya keterkaitan antar satu kejadian dengan
kejadian yang lain; antara satu tanda dengan tanda yang lain; antara satu indikasi
dengan indikasi yang lain.
Caping GM adalah alternatif lain menuju pengetahuan yang
tanpa tepi. Pengetahuan yang apabila laut sebagai tintanya, dan pohonan sebagai
penanya, niscaya tak mampu menulis keseluruhannya.
**
Mengutip adalah pekerjaan yang dilematis. Kenapa? Kutipan
kadang melemahkan suatu tulisan. Tentu, tulisan yang berbasis otensitas yang
murni. Kutipan menelikung jauh ke dalam keremangan jalan buntu. Mendedahkan kutipan
di salah satu tulisan kita, menafikan kreatifitas kita sebagai penulis. Artinya,
kita tak benar-benar serius menemukan hal yang baru; semua seolah harus
berkutat pada yang salaf.
Tapi lain masalahnya jika kutipan dibarengi dengan seni
mengutip. GM adalah representasi dari hal itu. Dalam Capingnya, ia telah
mebuktikan bahwa kutipan justeru mampu menerobos dimensi ke-ikut-an yang akut
dari penulis khalaf. Kutipan GM dalam Caping-capingnya memulai jalan lurus
dalam perihal seni mengutip. Ya, mengutip memang perlu seni agar tidak terkesan
loyal terhadap itba’ (imitasi).
Dalam kutipan Capingnya, GM sering menggunakan pendekatan
‘komedi putar’ (ini adalah istilahku). Apa itu? Pendekatan bahasa yang
multi-tafsir. Satu kutipan bahkan bisa dibelokkan dan dijungkir-balikkan seratus
delapan puluh derajat seperti komedi putar. Barangkali satu arti yang telah
disepakati publik, bisa jadi dibalikkan pemaknaannya oleh GM. Logika semacam
ini boleh jadi disebut kecurangan persoanal, tapi mungkin juga bisa membuka
jalan lain bagi mereka yang anti-mainstream.
Memang, bangsa kita kadang perlu adanya anti-mainstream.
Virus viralisasi (ini bahasa Ulil Absar-Abdala) menjangkiti di bahkan semua
lapisan masyarakat. Mainstream, termasuk dalam bidang penulisan, barangkali
adalah salah satu dari virus itu. GM dan usahanya menyisih dan meniriskan
dirinya dari kemelut virus itu, telah menginspirasi generasi milenium ini. Tapi
barangkali kita, sebagai generasi milenium, juga dihadapkan dengan sesuatau
yang dilematis: Mana yang akan kita pilih? Antara meniru GM atau mengambil
spirit dari usahanya menelurkan gaya baru dalam menulis? (*)
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar